Pulang Kampung
NAM AIR IN 196 (Semarang - Pangkalan Bun) |
Setelah hampir 10 tahun saya hidup di Semarang, satu keputusan besar kembali saya buat. Setelah mengundurkan diri dari kantor, saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Suatu keputusan yang banyak sekali mengundang tanya dari teman dan para sahabat.
“Loh, kenapa resign, Mim? Kan
enak bisa jalan-jalan terus!”
“Mim ngapain balik ke Kalimantan?
Udah enak di Jawa aja! Apa-apa mudah!”
“Yakin Mim balik ke Pangkalan
Bun? Ah paling sebulan – dua bulan kamu juga balik! Nggak pernah balik lama kan
kamu?”
Awalnya, saya mau balik for
good karena kedua orang tua pensiun dan mau menghabiskan masa tua di Pangkalan
Bun. Saya mau menemani Mamii dan Pak Is, terlebih kondisi Pak Is yang nggak
memungkinkan hanya dirawat Mami tahun lalu (setelah operasi pengangkatan tumor
di kepala beliau).
Selain itu, saya dan beberapa
teman di kampung halaman yang mempunyai mimpi besar berencana membuat
sesuatu untuk kota kecil kami, Pangkalan Bun. Yap! Saya bersama tiga teman lama di SMA ingin membuat suatu ruang yang tidak terbatas untuk mengekspresikan diri melalui
karya di bidang kreatif, kami sebut ruang ini Demimasa. Lengkapnya, nanti saya
akan buatkan post khusus untuk menceritakan detailnya ^^
Desember keputusan resign saya diterima,
syukurnya lagi kondisi Pak Is semakin membaik dan kedua orang tua pensiun dengan
lancar. Mereka kembali ke Semarang di awal 2020 dari Tolitoli, Sulawesi Tengah.
Seiring berjalannya waktu karena COVID19 tidak juga reda, Pak Is dan Mamii
memutuskan untuk menetap di Semarang sampai entah kapan. Saya dan adik-adik
mendukung sepenuhnya keputusan tersebut karena Pak Is juga masih membutuhkan
terapi dan kontrol rutin di Semarang. Selain itu akses yang mudah ke mana saja
membuat mereka nyaman.
Saya sudah resmi berhenti bekerja
April 2020, sejak itu pula Demimasa mulai aktif membuat konten di media sosial. Kami mulai merintis Demimasa dari jarak jauh. Rencana awal, saya seharusnya sudah di Pangkalan Bun pada bulan April, namun jadwal
penerbangan yang tidak pasti karena COVID19 menyebabkan saya mengundur
kepulangan hingga Agustus.
Sejujurnya kepulangan ke
Pangkalan Bun tidak semudah yang saya bayangkan. Saya harus melewati kehilangan
yang teramat dalam. 2 minggu sebelum pulang, Mbah Nah pergi meninggalkan dunia
untuk selamanya, terkadang saya berpikir kondisi beliau yang memburuk bisa jadi
karena mendengar kabar kepindahan saya ke Pangkalan Bun, namun saya percaya semua
sudah tertulis di suratan takdir. Paling tidak saya bersyukur ada di saat-saat
terakhir beliau menghembuskan nafas. Itu adalah kali pertama saya mengantarkan
seseorang ke penghujung hayat. Suatu adegan yang tidak akan pernah saya
lupakan.
Tersisa dua minggu setelah kepergian Mbah Nah, saya isi dengan memilah, menyortir, dan mengepak barang yang akan saya bawa. Sesekali hadir dalam pertemuan kecil seremonial perpisahan yang diadakan para sahabat di Semarang.
Sungguh rasa-rasanya baru beberapa
waktu lalu saya menulis hal yang sama di blog tentang kepindahan ke Semarang,
cerita awal bertahan hidup di kota asal Pak Is. 10 tahun sudah berlalu :’) Time
flies really fast!
Seperti yang pernah saya tuliskan
sebelumnya, ke manapun saya pulang, Semarang, Pangkalan Bun atau di manapun
itu, yang terpenting adalah keberadaan orang-orang yang merindukan saya dan
memori-memori yang tersimpan di dalamnya.
0 komentar
Please kindly leave your comment with your ID