Place That I Called Home
Pangkalan Bun sepi kala malam |
Saya lahir dan tumbuh besar di
sebuah kota kecil bernama Pangkalan Bun. Lulus SMA, saya melanjutkan perguruan
tinggi di kota asal Bapak saya, Semarang. Sampai saat ini saya sudah hidup
sembilan tahun di kota Lumpia.
Setiap libur lebaran saya pulang kampung
ke Pangkalan Bun, tapi itu berlangsung hingga tahun ke 5, karena setelah lulus
kuliah orang tua saya pindah ke Tolitoli, Sulawesi Tengah. Ya, jarak memperumit
pertemuan keluarga kami kala musim mudik menjelang. Bapak mencari jalan pintas,
menurut beliau kami cukup berkumpul di Semarang. Alasan utama keluarga besar Bapak
ada di Semarang, dan lokasi yang berada di tengah-tengah, satu alasan penting
lainnya yakni biaya transportasi yang lebih murah, karena hanya Bapak dan Ibu yang
perlu mudik. Sejak saat itu saya tidak pernah mudik ke Pangkalan Bun, namun
saya selalu mengusahakan untuk kembali ke sana paling tidak sekali dalam
setahun.
Tentu saja rumah saya saat ini
ada di Semarang, saya selalu mencintai
Semarang dengan cara tersendiri, lepas dari panas yang menggelora, kalinya
banjir, bahasa Jawa yang tak kunjung saya taklukkan :). Begitu pula dengan
Pangkalan Bun, di setiap sisi kota tersimpan
banyak kenangan saya tumbuh dewasa. Saya merindukan tempat-tempat yang dulu
sering saya kunjungi dengan orang-orang favorit. Saya juga menantikan pertemuan
dengan orang-orang yang berharap saya kembali.
Pada akhirnya setelah tumbuh
dewasa dan pergi ke banyak tempat, saya sadar bahwa tempat terbaik untuk
kembali dari suatu perjalananan adalah rumah. Semarang, Pangkalan Bun atau di
manapun itu, yang terpenting adalah keberadaan orang-orang yang merindukan saya dan memori-memori yang tersimpan di
dalamnya.
*Edisi rindu kampung seko’ aka
Pangkalan Bun :)
Ini lagu dari anak-anak muda Pangkalan
Bun tentang kerinduan para perantau dengan kota MANIS.
0 komentar
Please kindly leave your comment with your ID