Wae Rebo, Saya Sudah Kadung Jatuh Cinta
Wae Rebo, Saya Sudah Kadung Jatuh Cinta
|
Salah satu resolusi saya di tahun 2018 adalah ‘Berjalan Lebih Jauh’. Ya, seperti judul lagu Banda Neira, saya ingin di usia yang mencapai seperempat abad ini, menjelajah lebih banyak tempat-tempat di Bumi.
Sebuah perjalanan baru pun direncanakan ! Saya dan tiga temanku (Ayu, Idut, dan Putri) merencanakan dengan matang perjalanan ke Flores sebulan sebelum hari H. Rencananya, saya dan Ayu akan tiba lebih dahulu, karena kami akan mendaki menuju destinasi pertama, Wae Rebo. Idut dan Putri menyusul dua hari kemudian untuk melanjutkan trip Sailing Komodo.
Hari H tiba. Perjalanan ini sudah dimulai dengan drama ! Saya telat bangun dan ketinggalan pesawat ke Jakarta, namun sungguh Tuhan maha baik, saya masih bisa mengejar pesawat selanjutnya walau seharga tiket pulang kampung saat lebaran.
Singkat cerita saya dan Ayu berhasil sampai Labuan Bajo. Hari kedua di Labuan Bajo, kami dijemput oleh Bang Benso dari tim open trip “Ke Mana Lagi”. 6 jam perjalanan ditempuh hingga Desa Dintor. Kami beristirahat makan siang di Wae Rebo Lodge. Kami berkenalan dengan Vari, pemandu yang akan mengarahkan kami jalan menuju Wae Rebo.
Tentu kalian bisa mendaki ke Wae Rebo tanpa pemandu, lebih menghemat kantong. Tetapi akan lebih baik lagi kalau kalian izin dahulu dengan warga setempat. Sebelum mendaki, kalian bisa berhenti di Wae Reb Lodge, Dintor atau bertandang ke rumah Bapak Blasius di Denge. Tak ada salahnya, karena uang yang mungkin kalian keluarkan itu akan kembali untuk kesejahteraan warga lokal yang hidup dengan segala kesederhanaannya. Anggaplah perjalanan kalian itu suatu perjalanan untuk berbagi.
Kami melanjutkan perjalanan ke Desa Denge masih dengan mobil. Sesampai di desa Denge, kami disambut dengan OOWW (Ojek Objek Wisata WaeRebo) dengan rompi oranye yang khas. Kami memutuskan untuk ke pos satu dengan jasa OOWW karena jalan menuju pos satu lumayan memakan waktu bagi pendaki amatir seperti kami.
Sepanjang perjalanan menuju WaeRebo tidak akan pernah saya lupakan.
“Adik dari mana ?” tanya seorang Bapak hendak turun ke bawah, beliau melihat kami terengah-engah mengatur nafas.
“Saya dari Semarang, Pak. Dia dari Kalimantan,” jawabku
“Jauh sekali. Sedikit lagi sampai,”
Bapak itu mengulurkan tangannya padaku. Ku sambut tangannya.
“Saya Alex,” Bapak itu tersenyum
“Saya Risma, Pak” Aku balas tersenyum.
“Sampai bertemu nanti, ya” ujar Pak Alex. Ia melanjutkan perjalanannya.
Kami bertemu lagi
dengan beberapa warga Wae Rebo lain dengan keramahan dan mata berbinar yang
sama, menyemangati para pendaki di pertengahan jalan. Saya rasa pertemuan kami dengan mereka, memberikan
energi tambahan bagi kami untuk tidak menyerah mencapai Wae Rebo. Bahkan
keluhan Ayu, sedikit demi sedikit berkurang dan tidak lagi terdengar.
Kami sampai di Wae Rebo
setelah mendaki selama tiga jam. Waktu standar bagi kebanyakan orang, jadi cukup normal lah :D. Kami berhenti di pos tiga, pos terakhir sebelum masuk Wae Rebo. Dari
Pos tiga sudah terlihat Mbaru Niang dan aktivitas warga di sekitarnya. Vari
memukul kentongan dan berseru dalam Bahasa Manggarai. Pertanda ada orang asing
masuk desa.
Memasuki area Wae Rebo, saya dan Ayu takjub. Kami berkenalan dengan Nara Kasih (Nara merupakan panggilan
Abang dalam Bahasa Manggarai) salah satu pemandu lokal. Ia mengurus wisatawan
yang bertamu di Wae Rebo. Nara Kasih membawa kami ke Mbaru Niang utama,
tempat dilaksanakan upacara sesaat untuk para pendatang oleh para tetua adat. Tetua
adat yang memimpin upacara kami adalah Bapak Rafael.
Selesai upacara, kami menuju Mbaru Niang khusus untuk tamu. Kami duduk berkeliling, Nara kasih duduk di tengah-tengah, ia kemudian menjelaskan sejarah dan semua tentang Wae Rebo. Kami disuguhi hidangan lezat yang masih mengebul dan tentunya kopi khas Wae Rebo. Saya, Ayu, dan tamu-tamu lainnya makan dengan lahap, mengingat tenaga kami telah terkuras untuk mencapai Wae Rebo.
Suasana di dalam Mbaru Niang tamu. |
Selesai upacara, kami menuju Mbaru Niang khusus untuk tamu. Kami duduk berkeliling, Nara kasih duduk di tengah-tengah, ia kemudian menjelaskan sejarah dan semua tentang Wae Rebo. Kami disuguhi hidangan lezat yang masih mengebul dan tentunya kopi khas Wae Rebo. Saya, Ayu, dan tamu-tamu lainnya makan dengan lahap, mengingat tenaga kami telah terkuras untuk mencapai Wae Rebo.
Saya dan Ayu menikmati bercengkrama dengan Nara Kasih, karena selera humor kami yang 11-12. Nara Kasih
masih cukup muda dan sangat terbuka untuk seseorang yang tinggal di pelosok desa. Ia menunjukkan pada kami beberapa foto terbaik yang berhasil ia dapat,
dan berbagi spot foto terbaik di Wae Rebo.
Sore menjelang, setelah
mendapat sedikit ilmu dari Nara Kasih, saya dan Ayu memutuskan untuk
berjalan-jalan dan bergabung dengan warga lokal. Hari itu cukup banyak tamu
yang datang, kebanyakan dari mereka sudah bermain dengan anak-anak. Saya yang
penasaran dengan kain tenun, mengajak Ayu mencari ibu-ibu pengerajin kain
tenun. Kebetulan di Wae Rebo, beberapa ibu-ibu masih menenun secara tradisional.
Ibu Bertha sedang menyelesaikan kain tenun
di bawah Mbaru Niang
|
Kami berkenalan dengan
Ibu Bertha. Walau sudah sore, Ia masih menenun di bawah Mbaru Niang. Ibu Bertha bercerita sudah lama
menenun. Ia dan temannya menjual hasil tenun hanya di Wae Rebo. Bu Bertha
berkisah bahwa Ia belajar menenun sejak kecil, karena tidak bisa bersekolah. Ia
juga bertanya kepada kami, apa kami punya obat sakit gigi. Saya dan Ayu saling
bertatapan, sedih karena kami tidak bawa obat sakit gigi. Ibu Bertha sudah
sakit gigi lama, tapi tidak bisa turun ke bawah karena kakinya juga bengkak
karena terjatuh. Menurut Bu Bertha, terakhir kali dokter ke Wae Rebo adalah
tahun 2014. Saya dan Ayu hanya bisa mendoakan dan menyemangati Bu Bertha agar lekas sembuh.
Malam tiba, setelah
makan bersama dan kembali menikmati kopi. Acara bebas. Saya dan Ayu sibuk
melihat hasil kreasi warga Wae Rebo yang terdapat sisi lain ruang tamu. Kreasi
mulai dari kain tenun seharga 400 ribu -1 juta rupiah, bandana, syal, sarung,
gelang, dan kartu pos. Kami juga menyerahkan buku bacaan untuk anak-anak Wae
Rebo pada Nara Kasih. Selain buku, saya juga meyerahkan kartu permainan untuk
belajar Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Mandarin, yang dengan suka
ria dimainkan oleh Nara Kasih, Vari dan pemandu lokal lainnya.
Sekitar jam 10 malam,
listrik akan padam total di Wae Rebo. Kami bersiap untuk mengambil gambar Milky
Way. Sedikit kecerobohan saya dalam perjalanan ini, yaitu tidak membawa tripod.
Ini membuat saya kesusahan dalam mengambil gambar langit malam. Ya, jadi di tengah malam dingin
di dataran tinggi, saya berjongkok cukup lama untuk mengambil gambar galaksi. Semua
pegal cukup terbayarkan dengan hasil-hasil foto yang menakjubkan.
Saat malam tiba, jangan lupa menyaksikan langit malam nan penuh
bintang di Wae Rebo. Syukur-syukur bisa melihat Galaksi Bima Sakti
|
Ya, kami tidur tak berapa lama setelah listrik padam. Keesokan harinya kami turun setelah sarapan dan berpamitan dengan warga sekitar. Nara Kasih dengan setengah bercanda berkata,”Sudah, jangan balik ke sini lagi !”
Saya hanya tersenyum waktu itu, menggeleng ringan dan menjabat tangannya.
Tidak bisa, Nara. Saya
sudah kadung jatuh cinta.
Saya akan kembali,
semoga.
2 komentar
That last picture was so pretty cool. Sky full of stars! I'm waiting for ur next story :)
BalasHapusBae <3 Thank youuu. It was so beautiful ! You should go there
HapusPlease kindly leave your comment with your ID